Friday, October 31, 2014

sahabat sampai akhir hayat

alya berjalan gontai sambil jari-jemarinya meremas-remas ujung jilbab putihnya. Beberapa saat kemudian Ia telah berada di ruang pertemuan OSIS. Setelah berelaksasi sekian detik, Ia pun menuju sebuah kursi kosong dan seketika menunduk saat matanya tak sengaja bertatapan dengan sepasang mata milik sang ketua OSIS, Arta.

Rapat pun dibuka oleh Dika sang sekretaris OSIS. Rapat kali ini membahas tentang acara School Meeting yang diadakan di SMK Bhakti Kencana. Selama rapat tersebut, Alya lebih memilih diam. Bukan karena Alya kehabisan pendapat mengenai acara tersebut, tapi cewek kritis dan cerdas ini lebih memilih bungkam karena Ia malu untuk membantah pembicaraan sang ketua OSIS. Jika pembicaraan pembina biasa Ia kritik, maka kali ini Ia tidak bisa berbuat apa-apa, karena pembina juga sedang tidak masuk. Artalah yang menguasai rapat hari itu.

Selama satu jam empat puluh lima menit pengurus OSIS berdiskusi, akhirnya rapat diusaikan. Keputusan-keputusan telah dirangkum. Dengan cepat Alya melangkah keluar ruangan, hanya karena tidak ingin bertemu lama dengan Arta, kakak kelas sekaligus sahabat baiknya itu. Lalu, mengapa Alya menghindari Arta?

Hari itu, sepulang sekolah, di kamarnya Alya bermain-main dengan kebingungan yang melanda hati dan fikirannya. Pasalnya, cewek manis yang biasanya selalu ceria ini tengah mengalami problem yang sangat menekan batinnya. Sudah hampir satu bulan Ia dan Arta sahabatnya sejak kecil itu sedang marahan dan cuek-cuekan. Alya masih bertanya-tanya dalam hatinya, apakah tindakannya membela Tofan pacarnya salah?.

Beberapa minggu lalu, di lapangan futsal Alya melihat Arta dan Tofan berantem. Tanpa tahu seluk-beluk permasalahannya Alya memarahi Arta yang dilihatnya melempar Tofan dengan bola dan mendorong Tofan hingga tersungkur ke tanah. Alya membela Tofan karena apa yang dilihatnya membuatnya sangat kecewa dengan Arta. Karena selama kenal dengan Arta, Alya tidak pernah melihat sahabatnya itu melakukan tindakan sekasar itu. Melihat Alya membela Tofan, Arta juga merasa sangat kecewa dengan sahabat yang sudah Ia anggap adik itu.
“Ta, kamu boleh membela dia sekarang. Tapi suatu saat nanti kamu pasti akan kecewa dengan cowok brengsek ini!” Masih teringat dengan jelas kata-kata Arta saat itu dengan raut wajah sangat marah.

Sejak kejadian itu, Arta sudah tidak pernah lagi bermain ke rumah Alya, sudah tidak pernah lagi menjemput Alya ke sekolah, bahkan saat bertemu di sekolah pun mereka tak pernah lagi saling tegur sapa dan lebih memilih saling menghindar. Entah sampai kapan kan seperti ini. Mereka sama-sama keras. Tidak ada yang mau minta maaf duluan. Sekarang pun, Alya lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah atau sekali-kali jalan bersama pacarnya, Tofan yang baru Ia kenal dua bulan yang lalu.



“Aku gak mau beritahu dia soal ini. Biar jadi surprise gitu. Hehe.” Alya senyum-senyum sendiri dengan Hp di telinganya. Ia sedang berbicara dengan Dika lewat telefon. Mereka sedang membicarakan tentang acara School meeting di SMK Bhakti Kencana yang kebetulan adalah sekolahnya Tofan. Lagi-lagi Alya kepikiran tentang reaksi Arta jika bertemu dengan Tofan disana.
“Ta, bantuin mama masak donk!” Teriak mama dari dapur. Dengan segera Alya mengakhiri pembicaraannya dengan Dika dan berlari menuju dapur untuk membantu mama yang dari tadi sudah ngomel-ngomel.
“Tolong bumbu-bumbunya diblender ya Ta, tuh udah mama siapkan.” Mama menunjuk sebuah mangkuk berisi bumbu-bumbu yang akan dimasak.
“Ma, mau masak apa?” Tanya Alya sambil memasukkan tomat ke dalam blender.
“Pokoknya hari ini mama mau masak yang special.” Kata Mama sambil senyum-senyum.
“Emangnya ada acara apa Ma?”
“Acara syukuran aja Ta, kita kan harus mensyukuri nikmat dari Allah.” Kata Mama bersemangat. Alya pun tersenyum senang.
“Oh ya Ta, minta tolong nanti telefon Arta ya, ajak dia makan-makan kesini nanti malam. Sebenarnya tadi Mama udah telefon mamanya. Maklumlah mamanya Arta pelupa. Jadi Arta bisa ngingetin nanti.”
“Oh Tuhan, apa yang harus akau katakan pada Mama.” Lagi-lagi batin Alya menjerit. Seketika tubuh Alya terasa kaku, Ia menatap Mama dengan perasaan takut. Karena jika Mama tahu Ia sedang marahan dengan Arta, pasti Mama akan marah besar.
“Ta, kok Arta udah lama enggak Mama lihat kesini? Apa kalian sedang marahan?” Mama menatap Alya curiga.
“Eng… enggak kok Ma, Arta kan udah kelas tiga Ma, jadi dia lagi sibuk belajar untuk persiapan Ujian Ma.” Alya menjawab pertanyaan Mama dengan hati-hati. Takut jika mama menangkap kebohongannya. Tidak seperti dulu sewaktu Alya dan Arta masih kecil, jika berantem dengan segera disatukan kembali oleh kedua orangtua mereka. Tapi sekarang, Alya lebih memilih menyelesaikan sendiri masalahnya.

Malamnya, rumah Alya telah ramai dipenuhi oleh kerabat dekat, teman-teman papa dan tetangga-tetangganya. Mereka sedang asik menyantap menu di acara syukuran malam itu. Sambil mengantar minuman ke ruang tengah, Alya melirik para tamu dengan hati-hati. Berharap melihat sosok Arta. Namun ternyata Arta tidak datang. Sebenarnya Ia sangat merindukan sahabat yang selalu ada untuknya itu. Ia merindukan senyum dan canda Arta. Ia juga tidak ingin berlama lama marahan dengan Arta.

Saat acara selesai, Alya segera berdiam diri di kamarnya. Setelah lama termenung, Ia mengambil Hp-nya dan mengetik pesan untuk Arta. Alya minta maaf kepada Arta. Namun, Arta tak membalasnya. Alya kecewa.



“Ta, jangan lupa kameranya ya!” Dika begitu sibuk mempersiapkan segala peralatan yang akan Ia bawa ke SMK Bhakti Kencana hari itu.
“Kita berangkat sekarang?” Tanya Alya sengaja membuat jengkel temannya yang memang hobby sibuk itu.
“Iyalah non, memangnya tahun depan?!” Mata Dika melotot sambil mulutnya dibentuk huruf O.

Empat pengurus OSIS yang akan melaksanakan pertemuan School meeting segera berkumpul di depan sekolah. Mereka berangkat dengan mengendarai motor masing-masing. Saat menghidupkan mesin motornya, mata Alya mencari-cari sang Ketua OSIS. Kemana Arta?. Pikir Alya.

Setibanya di SMK Bhakti Kencana, kedatangan mereka disambut oleh perwakilan Osis SMK Bhakti Kencana. Tiba-tiba Arta datang dan berjabat tangan dengan seseorang yang ternyata adalah Ketua OSIS SMK Bhakti Kencana. Alya semakin keheranan melihat kedatangan Arta yang mendadak.

Pertemuan yang diawali dengan perkenalan antara OSIS SMK Kesehatan dan OSIS SMK Bhakti Kencana berlangsung lancar. Acara tersebut berlangsung sekitar 2 jam. Saat acara istirahat, Alya menuju wc bersama Ririn kenalannya dari OSIS SMK bhakti Kencana.

Saat kembali dari wc, Alya diajak berkeliling oleh Ririn, Alya memanfaatkan kesempatan ini untuk mencari Tofan. Saat melewati ruangan kelas XI-C, Alya melongokkan kepalanya sedikit melalui jendela. Seketika muncul perasaan sedih di hati Alya saat melihat seorang cowok memain-mainkan jari seorang cewek dengan tatapan mesra antara keduanya. Ia pun bertanya kepada Ririn tentang pasangan tersebut.
“Mereka pacaran ya?” Dengan hati-hati Alya bertanya sambil menunjuk ke arah pasangan tadi.
“Oh itu. Tofan sama Tasya emang udah lama pacaran. Kenapa Ta?”
Duarr!!, hati Alya serasa dihantam batu besar. “Tofan!” Alya menjerit geram sambil menahan amarahnya. Ia pun berlari meninggalkan Ririn.
Lalu, “Ta, kamu kenapa?” Arta yang sejak tadi mengawasi Alya dari jauh menangkap perubahan sikap Alya yang tadinya santai menjadi penuh amarah dan kesal. Arta pun berusaha mengejar Alya yang berlari menuju parkiran.
“Hey. Kamu kenapa?” Arta menarik tangan Alya dan menatap wajahnya dengan penasaran. Alya masih diam, kulit putihnya memerah, matanya menatap ujung sepatunya. Akhirnya setelah beberapa lama membeku. “Kak, maafin Alya. Alya menyesal kak. Dia memang cowok brengsek!” Alya menangis sambil terus menunduk. Ia malu menatap wajah Arta.

Keesokan harinya di lapangan futsal, “Aku berantem sama Tofan kemarin itu karena aku melihat dia menggoda cewek lain. Padahal dia kan pacaran sama kamu. Eh, dia malah bilang kalau itu bukan urusan aku. Ya udah, aku emosi.” Cerita Arta sambil memainkan bola di tangannya.
“Alya juga gak tau kak, waktu itu Alya juga kebawa emosi. Sekali lagi maafin Alya ya kak.” Alya menunduk malu.
“Udahlah Ta, aku faham. Tapi ingat. Lain kali kalau mau marah, identifikasi dulu masalahnya.” Arta senyum-senyum sambil menarik hidung Alya seperti kebiasaannya sejak dulu.
Tiba-tiba, saat mereka sedang asik cerita dan tertawa. “Oh…, gini ya kerjaan kamu. Pantesan akhir-akhir ini kamu cuekin aku. Ternyata kamu selingkuh sama cowok ini!” Tofan datang sambil marah-marah dan melempar Arta dengan bola. Tapi Arta berusaha menahan emosinya.
“Iya. Ini lebih baik daripada aku harus bertahan sama kamu!” Alya menatap tajam ke arah Tofan. “Kita putus.” Sambungnya lagi sambil tersenyum sinis.
“Tapi Ta, Alya..!” Tofan berusaha meraih tangan Alya. Namun Arta segera menghalanginya sambil memberikan senyum sinis.

Arta dan Alya pun bergegas dari tempat tersebut meninggalkan Tofan yang memanggil Alya sambil berteriak minta maaf. Arta dan Alya pulang dengan mengendarai sepedanya masing-masing. Kini mereka kembali menjadi sepasang sahabat yang saling mempercayai. Alya sangat menyesali perbuatannya yang membela pacar dari sahabatnya sendiri.
Sejak saat itu, Alya selalu meminta pendapat Arta tentang cowok yang naksir padanya. Ia juga selalu mengikuti nasihat Arta. Jari kelingking mereka kembali bersatu. 12 tahun sudah mereka bersama, dan mereka semakin akrab saja. Dalam hati Alya berharap, persahabatannya dengan Arta bisa terjalin selamanya. Karena Artalah yang selalu setia menjaganya.

0 comments:

Post a Comment

 

Ema dwi winarti Template by Ipietoon Cute Blog Design